Senin, September 08, 2008

Cerpen

Cerpen Indiar Manggara

KACAMATA


Kacamata itu masih dibiarkannya terlipat rapi. Bagio terus memandanginya dengan bermacam pertanyaan di benaknya yang tak pernah ia temukan jawabannya.
Kacamata itu berada tepat di pojok kiri, di atas meja tulisnya dan dibiarkan begitu saja terlipat rapi, hanya dialasi selembar tisu toilet. Meskipun di sekitar kacamata itu buku-buku dan peralatan tulisnya berserakan seperti rongsokan, tetapi pandangan Bagio tak pernah lepas sedetik pun dari kacamata itu. Seolah-olah kacamata itu melekat pada kedua bola matanya.
Sekali waktu ia mencoba memungut kacamata itu dan mencoba mengenakannya, tetapi buru-buru ia menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terjulur menggapai dan segera mengurungkan niatnya. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, aliran darahnya menderas dan keringat dingin berkucuran membasahi bulu kuduknya yang berdiri tegang.
Bagio menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dengan berat sekali. Dengan tarikan nafas seperti itu ia merasa ketegangan yang luar biasa pada dirinya tadi sedikit mereda. Kemudian ia meraupkan tangannya membasuh keringat dingin di mukanya. Tetapi keringat dingin itu terus menderas keluar melalui pori-pori kulitnya yang agak kecoklatan, merambati rasa penasarannya, mencekam kekalutannya.
“Hampir saja,” batinnya.
Kacamata itu masih terlipat rapi di sana, tepat di pojok kiri di atas meja tulisnya, di antara serakan buku dan dialasi dengan selembar tisu toilet.
Tak ada yang aneh pada kacamata itu sebenarnya. Hanya sebuah kacamata murahan dengan frame hitam, berbentuk oval mungil dan lensa masing-masing minus empat setengah. Kacamata yang dibelinya di sebuah optik kecil tujuh tahun yang lalu. Ketika ia hanya menjadi anak ingusan yang tidak mengerti apa-apa tentang orang lain, tentang hidup, tentang dunia, tentang dirinya sekali pun.
Mata dan pikiran Bagio masih terpaku pada kacamata yang terlipat rapi di depannya. Sah-sah saja apabila ada orang lain yang menganggapnya berlebihan atau bahkan mengatainya gila karena ketakutan pada kacamatanya sendiri. Tetapi baginya kacamata itu mempunyai energi yang dahsyat dan bisa jadi sangat berbahaya.
+++
Kulit Bagio masih basah dengan keringatnya. Bagian-bagian tubuhnya yang hampir tak memiliki lekuk karena tertimbun lemak itu menempel lekat di kaus oblong merah kusamnya yang menjadi merah gelap terhisap keringatnya sendiri.
Bagio sendiri tak tahu. apakah ia hanya sekedar penasaran terhadap sesuatu energi asing yang tersimpan pada kacamatanya itu atau ia mulai ketakutan dan mengambil jarak sejauh mungkin dengannya agar tidak terseret ke dalam arus dahsyat energi itu. Tapi yang pasti, baginya keringat dingin yang tanpa ampun berkeliaran di hamparan tubuhnya kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bukan sesuatu yang sehat seperti dikatakan orang-orang. Tapi bedebah pengganggu yang seolah-olah meledek kepengecutannya dan semakin merajam rasa tegangnya saat itu. Ia muak dengan keringatnya sendiri.
Perasaan Bagio pecah merantau ke arah entah dan kembali satu menumpuk dalam dirinya saling tumpang campur aduk membakar gejolaknya saat itu. Tapi matanya sedetik pun tidak dapat lepas dari kacamata itu. Ia seperti merelakan dua bola matanya direnggut. Pandangannya menyerah, sujud di kaki kacamata. Ia hanya bertahan dalam pikirannya. Memutar dengan keras, terjebak, menahan, kemudian memberontak, terjebak lagi dan berontak, seterusnya tanpa lelah.
Kacamata itu diam tapi menghadapinya dengan angkuh. Buku-buku berserakan dan dinding kamar memutar balik pandang membelakangi Bagio. Mereka lari meninggalkan Bagio dengan kecemasannya.
Bagio benar-benar merasa sendirian sekarang. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain pikiran yang ada di kepalanya saat ini. Hanya dengan itu ia harus berjuang menghadapi kacamatanya.
Di tengah perjuangannya Bagio mulai sedikit goyah. Bola matanya seperti tak ada lagi di rongga matanya. Perasaannya yang campur baur, tiba-tiba saja damai dalam sekejap dan kemudian hening, sepi seperti kota tua yang telah mati ribuan tahun. Begitu pula pikirannya yang sempat bertahan beberapa lamanya, kini bagai benteng pertahanan yang telah dikepung dan diambil alih oleh musuh.
Bagio tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok tubuh yang tak memiliki jiwa. Dengan mata yang tanpa air kaca dan pikiran yang menyerah, tangannya kembali terjulur. Gerakannya begitu mati tanpa ruh. Ia meraih kacamata itu seperti seorang ksatria meraih tangan seorang putri yang telah menaklukan hatinya–begitu hormat dan pasrah. Bagio semakin terseret oleh energi dahsyat dalam kacamatanya. Kacamata itu telah diraihnya. Ia membuka lipatannya, dan...
+++
Memang tetangga kost di sebelah Bagio itu kurang memperhatikan kebutuhan bayinya. Sehingga ia seringkali terganggu dengan suara tangisannya. Tapi kini keadaan itu bagi Bagio lain. Suara tangis bayi itu merupakan sebuah penyelamatan baginya. Seandainya saja bayi itu tidak menangis, ia tidak akan bisa membayangkan lagi apa yang terjadi pada dirinya.
Kaadaan Bagio sekarang sedikit pulih. Perasaannya kembali damai dengan gairah. Pikirannya kembali membentuk benteng-benteng pertahanan. Dengan keringat dingin yang masih membanjir di permukaan kulitnya. Hanya saja matanya tetap terpaku mengarah ke depan, menghadap kacamata yang telah dikembalikannya ke tempat semula.
Ia kembali menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan berat. Matanya masih terseret oleh kacamata itu.
“Ya. Ternyata aku memang takut,” Bagio berbisik sendiri.
“Kacamataku sendiri.”
“Tapi..”
“Nggak wajar. Aneh.”
“Bahaya!”
“Tapi…”
“Apa yang aneh? Apanya?”
Bayi, anak tetangga kost di sebelahnya kembali menangis. Bagio kemudian membayangkan betapa beruntungnya bayi yang tak tahu apa-apa itu. Seandainya ia dalam keadaan seperti bayi itu, ia akan merasa aman dan tenang. Tidak akan disisihkan dan dibuang.
Tiba-tiba ingatannya melompat jauh ke masa lalu. Dimana ketika itu ia hanya seorang yang tersisih. Bagio selalu berada pada keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dianggap remeh, baik dalam keluarganya maupun oleh teman-temannya.
Dengan perasaannya yang terus terhina dan tertekan, ia kemudian kabur dari rumahnya dan tinggal di sebuah kost-an kecil dan kumuh. Biaya kuliah dan pokoknya ia dapatkan dengan bekerja serabutan setelah pulang kuliah. Pekerjaan itu baginya akan sedikit nyaman. Karena pekerjaan itu hanya butuh otot yang besar.
Ternyata perkiraannya salah. Ia tetap saja dianggap orang yang tidak berguna. Tapi Bagio tetap bertahan demi cita-citanya membeli sebuah kacamata. Sebab ia menyangka kalau biang dari semua itu adalah matanya.
Setelah tabungannya terkumpul, akhirnya ia mendapatkan kacamata juga. Bagio dapat melihat apa saja dengan sangat jelas. Dengan cepat ia juga dapat dengan mudah memahami apa pun yang ingin ia pahami. Bagio mengerti banyak hal. Ia merasakan mengetahui segalanya. Baginya ia bukan orang yang bisa disisihkan.
Dengan kacamatanya, Bagio merasa bukan sekedar orang yang paham tentang segalanya. Ia dapat melihat, mengamati, mengingat, memikirkannya, menerka, dan menentukan apa pun.
Keadaan Bagio sekarang berubah 180 derajat. Ia menjadi orang yang dielu-elukan dan menyisihkan orang lain.
Bagio bukan merasa menjadi nabi baru yang dianugerahi mukjizat. Tapi ia sendiri adalah tuhan. Baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Ia yang menentukan segalanya.
Setiap orang yang dulu menyisihkan Bagio kini selalu mengharapkan keberadaannya. Banyak orang yang membutuhkannya. Mulai dari masalah sex, masa depan, hingga politik kenegaraan.
Setiap hari, setiap jam, setiap detik Bagio selalu didatangi orang dan dimintai tolong. Ketergantungan mereka terhadap Bagio semakin memperkuat rasa bangganya. Bagio benar-benar seolah menjadi tuhan bagi mereka. Semuanya tunduk dan takluk pada Bagio. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna.
Tapi seketika itu juga, ia diam. Gelisah seperti bingung memikirkan sesuatu yang gawat dan terlanjur lewat.
“Tunduk? Takluk?”
“Sempurna?”
“Kelewat.. Kelewat!! Kelewat!!”
+++
Bagio segera tersadar dari lamunannya. Ia merasa ada sepasang mata yang mengawasi dirinya dengan tajam. Perasaan itulah yang membuat lamunannya tergugah. Matanya menyelidik ke dinding-dinding, lemari, kolong tempat tidur, tapi ia tidak menemukan mata siapa pun.
Tapi perasaan terawasi itu semakin kuat dan semakin dekat. Bagio menyelidik lebih teliti matanya dilepaskan ke segala arah di kamar itu. Tapi tetap tak ada mata yang terpasang di sana.
Perasaan diawasi itu semakin dekat dan kuat lagi. Bahkan ia seperti sedang berhadapan dengan mata itu.
Bagio dengan spontan melemparkan pandangnya ke arah kacamata itu. Seketika darah Bagio tersingkap, keringat dinginnya menderas, jantungnya kencang dan nafasnya tersendat..

April 2008

KELIR BEDAH

Hari nampak lelah digenang senja. Warna emas yang leleh mencair mewarnai cakrawala, semakin redup, menarik cahaya dari celah-celah rimbun bukit. Bulan semenanya muncul dengan setengah keangkuhan menatap tajam matahari yang mulai terseok-seok menuruni renta waktu –seperti menuntut sebuah keadilan.
Angin gegas serentak menyerbu ke sebuah arah menuju lautan. Menciptakan sapuan lembut pada setiap apa yang berdiri kokoh di tempatnya. Mengayun seperti tak tentu arah. Menyeret apa saja yang dapat ditariknya. Tak terkecuali anyir darah bercampur peluh yang menggenang di padang Kurusetra.
Kurusetra, sebuah hamparan tanah luas yang bengis dan kejam. Menelan segala jerit sakit dan kobar semangat yang pupus di ayunan mata pedang dan tikaman anak panah. Sebuah padang gersang, kering, yang menggembur merah, berselimut gelimpangan mayat-mayat manusia. Kurusetra, hamparan tanah lapang yang dibanjiri anyir darah, berkeliling bukit yang menyaksikan pembantaian manusia; menikam nyawa dengan nyawa, tetapi diam dan tenang.
Di tengah padang Kurusetra, di antara gelimpangan mayat-mayat manusia yang lelah itu, masih tampak berdiri dengan gagahnya enam orang ksatriya menggenggam erat busur panah dan pedang yang masih berlumuran darah di tangannya, tetapi telah diturunkannya ke bawah menghadap tanah. Dan seorang wanita berparas ayu, sedang menimang anak lelakinya yang kelak diharapkan menjadi ksatriya pula seperti ayahnya. 
Krisna, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, nama keenam ksatriya itu. Dan Utari-lah wanita yang sedang menimang bocah calon ksatriya itu, Parikesit, putra Abimanyu.
Aroma anyir tanah yang memerah masih tajam menusuk hidung mereka. Seperti sebuah peristiwa yang akan kekal dalam ingatan mereka. Angin yang menyapu lembut dan seperti tak berarah itu seakan membawa mereka ke dalam sebuah gerbang penyesalan yang sangat jauh. Mata mereka nanar menerawang kosong jauh ke depan menembus jajaran bukit kokoh yang sedang mengelilingi mereka, seperti tak ada saja layaknya.
Seluruh ksatriya gagah dan wanita ayu itu semakin hanyut dalam renungan. Mereka bimbang, tak tahu apa yang mesti dirasakannya. Perasaan puaskah, karena mereka telah menang dalam sebuah perang agung melawan para ksatriya Astina, atau menyelami penyesalan mereka semakin dalam? Sebab dalam hal apa pun mereka sangat membenci sungai darah yang mengalir sebagai satu-satunya jalan keluar. Apalagi lawan maupun kawan yang telah jatuh bermandikan darah di sekitar mereka itu adalah orang-orang yang sangat dicintainya dan telah lama hidup bersama mereka.
Tetapi tidak begitu halnya dengan Bima dan –tentu saja– bocah calon ksatriya yang belum tahu apa-apa tentang masalah manusia dewasa. Air muka dan sorot matanya jelas sekali menggambarkan kepuasan yang berlebih karena telah berhasil menghancurkan singgasana Astina beserta para Kurawa dan antek-anteknya. Terlebih lagi, tangannya yang kekar dan sekeras baja itu berhasil menyatukan Duryudana dengan ajalnya. Kebanggan dan kepuasan atas kemenangan itu tampak makin tajam dan jelas pada guratan wajahnya yang masih dibasahi dengan peluh dan darah..
“Sudahlah, Kakang! Tak ada yang pantas untuk disesali. Ini adalah harga yang sangat pantas mereka terima atas kelicikan dan kekejaman mereka terhadap kita selama ini. Toh, kita melakukannya dengan jalan perang. Perang suci, perang antar Barata! Jalan yang ditentukan Dewata kepada kita, para ksatriya. Maju dalam peperangan tanpa gentar. Baik dengan akhir kematian maupun kemenangan,” ujar Bima yang tidak ingin kepuasannya hilang gara-gara suasana yang haru itu kepada Puntadewa.
Keadaan haru itu masih tetap saja. Tak ada reaksi atau tanggapan sedikit pun terhadap ucapan Bima. Tetapi Puntadewa, raja Ngamarta itu malah menjadi-jadi dalam kesedihannya. Ia mulai meneteskan luh yang mengalir melalui guratan antara pipi dan hidungnya, kemudian membentuk kristal di bawah dagu dan jatuh, pecah, menimpa tanah Kurusetra yang masih merah.
Melihat itu, Bima agak geli pada kakangnya. Sembari tersenyum agak mengejek, Bima berkata, “Baiklah, bila Kakang masih tidak terima dengan kenyataan ini, bagaimana kalau sekarang Kakang naik ke Suralaya, menemui Hyang Batara, dan meminta pertanggungjawabannya. Itu pun kalau Kakang punya sedikit saja keberanian.”
Puntadewa sadar kalau ucapan adiknya itu bernada mengejek. Ia segera memalingkan wajahnya pada Bima dengan raut muka tidak terima. Ia tersinggung. Dengan amarah yang berkesumat, diangkatnya pedang yang sedari tadi menghadap tanah itu ke arah Bima. Tapi secepat kilat pula Krisna menahan tangan Puntadewa. Pedang itu kembali menghadap tanah. Tetapi Bima sudah terlanjur berada berpuluh-puluh kilometer dari tempatnya semula dengan air muka ketakutan. 
“Brad benar. Kita terlahir di dunia ini sebagai ksatriya. Dan mau tidak mau, kita harus maju dalam medan perang. Dengan siapa pun lawan kita. Kita juga berada pada jalan yang benar dan terberkati,” ucap Krisna bijak.
“Tapi, Paman Kris…”
“Sudahlah. Cukup! Kau mau mengatakan kalau adikmu, Brad, sudah bersikap kurang sopan? Ayolah, Yud, di mana rasa humormu? Apakah perang Barata delapan belas hari ini sudah benar-benar membuat sarafmu tidak bisa kendor lagi? Sudahlah, lebih baik sekarang kita kembali ke Ngamarta dan kabarkan pada rakyat dan kerabat, bahwa kemenangan ada di pihak kita!”
“Sendika, Paman.” Seluruh ksatriya dan wanita itu menurut.
Bima yang berada puluhan kilometer dari para ksatriya itu, masih dengan air mukanya yang menampakan kegelisahan dan was-was. Takut kalau-kalau kakangnya, Puntadewa, masih menaruh minat untuk menancapkan pedangnya pada tubuh yang kekar perkasa itu.
“Brad!”, Krisna memanggil Bima dengan panggilan sayangnya yang diambil dari potongan nama kecil Bima, Brotoseno.
“Ayo, kita pulang ke Ngamarta. Kita kabarkan kemenangan kita ini pada rakyat dan kerabat di sana!”
Bima pun menurut dan mengikuti rombongan ksatriya itu pulang ke Ngamarta. Ia berjalan di belakang Krisna dengan kegagahannya yang tiba-tiba kembali begitu saja.
***

Setahun setelah perang agung yang dimenangkan oleh pihak Pandawa, Puntadewa dan adik-adiknya merasa sangat kesepian di negerinya sendiri. Mereka merasa banyak kehilangan orang-orang kesayangan yang sangat dicintainya. Gendari, Dirtarastra, kedua orang tua Kurawa yang sempat mengutuk terjadinya perang antar saudara itu, bersama-sama dengan Kunti telah meninggalkan mereka, melakukan sanyasa di hutan. Keberangkatan mereka diiringi dengan restu Krisna, yang diyakini sebagai titisan Batara Wisnu. Krisna memercikan air suci ke wajah Dirtarastra, Gendari dan Kunti. Sebagai tanda restu dan memohonkan keselamatan pada mereka. 
Butir-butir halus air suci itu membasahi wajah mereka yang tulus dan nampak bersinar. Beberapa butirannya yang menempel di dahi, kemudian mengalir lembut menuruni sketsa wajah, berpangkal di ujung hidung dan pecah di keheningan yang haru. Jejak aliran air suci itu menciptakan rasa sejuk angin surga di wajahnya dan seolah menghapus kesedihan yang sedari tadi menyelimuti ritual pemberkatan.
Krisna kemudian menumpahkan lagi air suci ke tangkupan tangan ketiga orang tua itu. Kemudian mereka meminumnya dengan khidmat. Air yang mengalir di kerongkongan, menambah kemantapan hati mereka untuk segera berangkat dan melakukan brata sanyasa.
Ketiga orang tua yang telah membesarkan para ksatriya Ngamarta dan Astina dengan penuh kasih sayang itu kemudian berangkat ke hutan dengan diiringi taburan bunga yang dilemparkan oleh rakyat sebagai tanda restu dan penghormatan mereka yang mendalam. Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa hutan tempat ketiga orang suci itu menghabiskan usianya dengan bertapa, tiba-tiba terbakar dan api telah melahap seluruh isi hutan.
Para Ksatriya Pandawa dan seluruh rakyat Ngamarta merasa terpukul seketika dan diliputi kesedihan yang teramat sangat. Mereka kemudian secara bersama-sama, melakukan upacara besar untuk mendoakan ketiga orang tua itu agar hidup damai di nirwana dan melakukan penghormatan terakhir.
Cobaan yang dirasakan oleh para ksatriya Pandawa tidak hanya berhenti sampai di sana. Bukan hanya kesedihan yang menimpa mereka, tapi sebuah kegelisahan, kebingungan, dan kekacauan yang aduk menjadi satu. Menggegerkan seluruh tanah air Ngamarta. Sebuah misteri, kejanggalan, kengerian, dan peristiwa asing yang tak pernah mereka temukan sama sekali selama hidupnya di mayapada, terutama Ngamarta.
Kira-kira berawal dari sebulan yang lalu. Pagi-pagi sekali, ketika Puntadewa sedang sendiri dan bersantai-santai memandangi singgasananya di bale patemon, salah seorang prajurit Ngamarta menghadap Puntadewa. Ia melaporkan bahwa pagi ini ditemukan lebih dari lima puluh mayat manusia yang setelah diidentifikasi ternyata kesemuanya adalah rakyat Ngamarta.
Puntadewa sontak terkejut dan nyaris tidak percaya dengan laporan prajurit itu. Bagaimana bisa dalam satu malam yang tenang-tenang saja dan aman-aman saja itu bisa merenggut nyawa manusia begitu banyak? Puntadewa memutar keras otaknya agar dapat merasionalkan kejadian yang serba aneh dan mendadak itu sebisa-bisanya.
“Dan semuanya mati karena kehabisan darah, Paduka,” prajurit itu menambahkan laporannya.
Puntadewa semakin bingung dengan laporan tambahan yang dibebankan oleh prajurit itu. Badannya seketika lemas, saraf otaknya menegang akibat aliran darah yang tiba-tiba deras mengalir ke otak. 
Prajurit itu masih dihadapan Puntadewa. Menunggu jawaban atas laporannya. Dalam keadaan lemas itu, Puntadewa segera mendudukan tubuhnya ke singgasana yang tepat berada di belakangnya. Ia terus memutar otaknya. Mematut-matut kejadian itu dengan sebuah jawaban logis yang masih belum ditemukannya. Sebab, apa kata rakyatnya nanti jika dalam negeri Ngamarta terjadi peristiwa aneh. Sedangkan si Raja sendiri tidak tahu menahu tentang penyebab keanehan itu. 
Tangannya tiba-tiba merasa dingin, begitu pula tengkuknya. Hawa dingin yang dirasakannya, bersamaan dengan butir-butir keringat yang membasahi wajah dan telapak tangannya. Ia merasa harus segera memberikan jawaban atas laporan itu sekarang juga. Seakan ia mengerti kehendak batin prajurit yang masih menghadapnya itu.
Seketika ia menemukan sebuah jawaban yang menurutnya tepat dan masuk akal. “Ah, kalau seperi itu, mungkin.... karena di Ngamarta ini udara dingin mulai menyerang, pasti mereka….,” ia memantapkan hatinya untuk mengatakan jawabannya yang masih ragu-ragu.
“Pasti mereka terserang insomnia!”, katanya mantap.
“Anemia, mungkin maksud Paduka?”
“Ya iya itu tadi maksudku.” Puntadewa mengelak kesalahan ucapnya. Kemudian ia memegang-megang bibirnya dan berpura-pura meringis kesakitan agar prajurit itu mengiranya sariawan dan memaklumi kesalahan ucapannya.
“Ya sudah. Woro-worokan pada seluruh rakyat Ngamarta, agar mereka selalu waspada dengan kesehatannya, sebab Ngamarta sedang diserang cuaca dingin. Beri mereka semua mantel kulit kambing! Dan suruh pegawai dapur untuk meracik jampi tambahgetih dalam jumlah besar! Lalu bagikan ke seluruh rakyat Ngamarta!”
“Sendika, Paduka.” Prajurit itu kemudian bergegas pergi dan melaksanakan perintah Puntadewa.
Puntadewa merasa lega telah memberikan jawaban yang bisa dianggap masuk akal, setidaknya oleh rakyatnya. Tapi yang paling membuatnya pikirannya plong adalah tanggapan dan perintahnya telah berhasil menyingkirkan prajurit itu dari hadapannya. Meskipun ia menangkap ketidakpuasan atas tanggapannya dari wajah prajurit itu.
***

Arjuna, Nakula dan Sadewa, pagi itu berkumpul di bale patemon. Bersama dengan tiga orang pejabat kerajaan, mereka menghadap Puntadewa, melaporkan tentang misteri, kengerian, dan keganjilan, dan kemirisan, dan keanehan yang terus dan terus berlanjut menghantui dan meneror ketentraman seluruh penduduk Ngamarta.
“Kejadian ganjil dan mengerikan itu ternyata masih terus berlanjut, Kakang,” Arjuna melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Semuanya dengan penyebab dan tanda yang sama. Mati karena kehabisan darah, dan dua lubang kecil, seperti bekas gigitan ular raksasa di lehernya. Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus dengan alasan musim dingin yang berkepanjangan, Kakang”, tambah Nakula.
“Benar, Kakang. Kita semua harus segera menindak teror yang mengerikan ini. Tapi kita juga menunggu persetujuan Kakang”, Sadewo menambahkan pula.
Ketiga pejabat Ngamarta itu tetap diam menghadap Puntadewa. Tapi keenam mata mereka tampak pancaran yang tulus dan harapan kepada Puntadewa untuk segera mengambil tindakan menghentikan teror mengerikan ini. Seluruh tubuh Puntadewa lemas dan berkeringat dingin. Seketika ia menjatuhkan tubuhnya pada singgasananya. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar tak beraturan.
Tiba-tiba dengan gagap dan menangis sedu, Bima datang, bersimpuh sembah sujud menghadap Puntadewa, kakangnya. Air matanya mengalir begitu derasnya menggambarkan kekacauan hati dan pikirannya. Bima melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Sembah sujud hamba, Kakang. Ampun. Sebelumnya hamba minta maaf bila laporan ini, Kakang, menambah beban keresahan dan kekacauan Kakang. Tapi, sumpah atas nama Hyang Batara, hal ini harus hamba katakan pada Kakang sekarang.” Bima berhenti bicara dan menuntaskan sedunya. Setelah agak tenang, lalu ia melanjutkan, “Tadi pagi hamba membawa beberapa prajurit pergi menuju negeri Dwarawati, menemui paman Krisna. Tapi ketika sesampai hamba di Dwarawati, hamba hanya bertemu dengan seorang prajuritnya yang berlari ketakutan dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya, menghampiri hamba. Prajurit itu jatuh simpuh di hadapan hamba. Ia berjuang mempertahankan nafas terakhirnya dengan mengatakan bahwa seluruh penduduk negeri Dwarawati termasuk paman Krisna, diserang oleh seorang laki-laki asing dengan wajah pucat seperti lilin. Giginya bertaring seperti titisan buta dan bibirnya yang merah seperti habis bergincu. Dwarawati hancur! Punah, Kakang!”
“Lelaki asing? Hanya seorang lelaki asing?” sontak Puntadewa 
“Iya, Kakang. Yang lebih mengherankan lagi, kata prajurit itu, lelaki asing itu bertubuh kerempeng dan tampak pucat. Seperti orang pesakitan. Tetapi tenaganya seperti seribu kuda perang andalan paman Krisna.” Jawab Bima dengan terengah. “Sayangnya prajurit itu pun akhirnya mati juga, kini. Tapi, ia sempat mengatakan bahwa lelaki asing bertubuh kerempeng itu menyebutkan namanya. Kalau tidak salah Kant… Kant… Kant Nakula, Kakang.” Tambah Bima dengan masih ragu-ragu.
“Ah, yang benar saja, mas Brad!” Sergah Nakula, tidak terima namanya disebut-sebut sebagai nama pembunuh dari negeri seberang itu.
“Oh, maaf. Maksudku Kont… Kont..”
“Hus..! Jangan berkata jorok di negeri Ngamarta ini kau, Brad!” Bentak Puntadewa.
“Aagghh.. bukan begitu, Kakang. Aku lupa nama lelaki aneh yang disebutkan oleh prajurit itu tadi. Lagipula sempat-sempatnya Kakang Puntadewa berpikir ke arah bawah sana pada keadaan seperti ini.” Sanggah Bima ke Puntadewa dengan menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum mencibir. “Ah, Count Dracula. Iya, Count Dracula, Kakang.”  
“Count Dracula?! Ayolah, yang benar saja! Lelucon macam apa ini? Kalau seperti ini terus, aku harus memberikan jawaban bagaimana lagi? Perintah apa lagi yang harus kuberikan pada kalian? Otakku sudah cukup kering, mendengar begitu banyak rakyatku dan negeri Dwarawati, termasuk paman kita tewas mengenaskan hanya dalam waktu singkat. Lalu aku harus pakai otak siapa, untuk menerima kenyataan bahwa Dwarawati dan paman Krisna tergeletak di tangan seorang lelaki asing bertubuh kerempeng dan sakit-sakitan? Lelaki kerempeng dari negeri seberang?” Puntadewa mengeluh.
Kelima ksatriya itu diam merenungkan kejadian janggal yang telah habis-habisan meneror ketenangan mereka. Tapi di antara kelimanya, Puntadewalah yang tampak paling gelisah. Butiran kaca di matanya bukan saja melukiskan kesedihan yang sangat atas kehancuran dan kehilangan akan kerabatnya, tetapi juga kecemasan tentang bagaimana keselamatan terhadap negerinya, keluarganya dan dirinya—selanjutnya.
***
Di lembayung hitam, sosok bulat bulan singgah menempati singgasananya. Binar-binar cahaya putih memendar menyirami tanah Ngamarta yang sunyi. Tepat di bawah purnama itu, di balai patemon, masih terdapat sepuluh mata ksatriya yang terjaga. Para ksatriya yang dirundung kecemasan dan kesedihan luar biasa sejak pagi tadi. Kemurungan mereka tiba-tiba terusik dengan hentakan kaki yang begitu cepat dan teriakan kencang dengan suara yang lembut yang ditujukan pada Arjuna. Dengan sigap, Arjuna yakin bahwa itu adalah suara Utari, menantu kesayangannya. Belum sempat Arjuna menoleh penuh pada arah datangnya suara itu, Utari tiba-tiba saja telah berada di hadapan kelima ksatriya itu dengan peluh yang berceceran di dataran tubuhnya dan arus nafas yang terngah-engah..
“Di mana? Di mana? Di mana Parikesit? Di mana Parikesit anakku? Parikesit hilang! Parikesit menghilang begitu saja , Ayah! Lalu kenapa tadi begitu banyak prajurit yang tergeletak di tanah negeri kita, Ayah?” Tanya Utari dengan tergopoh-gopoh.
Kelima ksatriya itu seketika mematung. Bendungan airmata Puntadewa yang semula menggenang, tiba-tiba pecah, deras menggenangi pipinya. Ia merengek kekanakan di atas singgasananya. Firasatnya sebagai ksatriya mengatakan bahwa sebentar lagi, mereka berenam, hanya mereka berenam akan bertemu dengan lelaki asing itu. Pembunuh bertaring buta. Tapi tidak seperti itu yang ada di pikiran Arjuna. Ia hanya memikirkan di mana dan bagaimana akan keselamatan cucunya, Parikesit. Kelima ksatriya dan seorang dewi itu semakin hanyut pada kekalutan pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri. Mereka berada pada diri mereka masing-masing, kini.
“Siapa kau?!” Bima tiba-tiba membentak.
Semua mata memandang dengan segera ke arah Bima, lalu beringsut mengikuti arah mata Bima. Mereka semua sontak mundur beberapa langkah setelah melihat sosok lelaki berwajah pucat telah berhadapan dengan mereka. Wajah yang begitu pucat seperti putih lilin, matanya menyala merah semerah bibirnya, dan bau busuk yang keluar dari setiap hembus nafasnya. Tubuh yang begitu kurus terbalut kulit keriput dan jubah hitam. Tapi seluruh raut wajahnya menggambarkan kebengisan seorang pembunuh terkejam sejagad mayapada ini. Lelaki itu berdir dengan tenang dan selalu meletakkan tangan kirinya di atas pantat.
Kelima ksatriya dan seorang dewi itu tercengang. Mereka terpatung seolah tidak percaya pada apa yang telah berada di hadapan mereka kini. Entah ketakutan atau rasa heran yang begitu besar, atau bahkan kebingungan, sehingga jantung mereka masing-masing berdegup begitu kencangnya melebihi perasaan mereka ketika maju di lapang Kurusetra. Semua melongo menghadapi sosok lelaki asing itu. Hanya lelaki pucat itu yang melangkahkan kaki sekali dan menarik senyum sinis kepada mereka, sehingga tampak sepasang taring yang begitu panjang dan menjijikan.
Puntadewa yang merasa bahwa dirinya yang tertua di antara adik-adiknya, seketika mengambil sikap tegar menghadapi lelaki asing itu.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk di istana Ngamarta ini dengan seenaknya, hah?” Tanya Puntadewa. Atau, jangan-jangan kau ini yang bernama Count Dracula, yang telah membunuh, membantai seluruh rakyat dan raja Dwarawati serta seluruh rakyatku?”
“Hahaha..!!! Tepat sekali. Tebakan anda begitu tangkas. Tapi…”
Belum selesai lelaki itu berkata, Nakula dan Sadewa dengan cepat menyerang Count Dracula. Tetapi hanya dengan sekali mengibaskan jubah hitamnya, lelaki itu mampu membuat mereka berdua terpelanting jatuh, jauh berlawanan arah menabrak hancur tiang-tiang penyangga istana. Nakula dan Sadewa hanya bisa meringis kesakitan tidak mampu bangkit kembali. Kemudian lelaki itu memangku kembali tangan kirinya ke belakang.
Melihat Nakula dan Sadewa jatuh tak berdaya, Puntadewa terkejut bukan main. Ia lalu memerintahkan Arjuna untuk melindungi Utari. Memasang kuda-kuda untuk menyergap lelaki itu, ia juga memanggil Bima untuk membantunya menyerang. Tapi panggilannya tidak bersahut. Menyadari akan hal itu, ia melihat sekelilingnya. Puntadewa tidak mendapatkan sosok adiknya yang berbadan kekar itu berada di sana. Ia kemudian berteriak lagi lebih kencang, memanggil Bima.



“Brad! Di mana kau? Ayo, Bantu aku menghabisi lelaki kurus ini!”
Kepala Bima muncul perlahan-lahan dari balik singgasana Puntadewa. Ia memandang was-was ke sekeliling dan mendapati wajah kakangnya, Puntadewa, telah mengarah padanya dengan geram.
“Kakang, bukankah lebih baik kita bicarakan saja dulu dengan baik-baik. Sebagai ksatriya, itulah sikap yang dituntunkan kepada kita. Sebagai Ksatriya, kita tidak dibenarkan untuk…”
“Ah, pengecut, kau, Brad!” Puntadewa memaki.
“Hahaha..!! memang benar apa yang telah dikatakan oleh adik anda. Dengarkanlah dulu saya berbicara. Tidak baik bagi anda sebagai seorang ksatriya, menggunakan cara kekerasan semacam ini untuk menyelesaikan masalah. Baiklah, akan saya teruskan pembicaraan saya yang telah terputus tadi. Benar, saya adalah orang yang telah membunuh habis orang-orang di negeri Dwarawati dan rakyat-rakyat Ngamarta ini. Saya datang jauh dari negeri sebrang, dan kemari untuk membangun sebuah negara baru. Negara dengan orang-orang yang kuat, perkasa dan cerdas. Bukan negara dengan orang-orang yang lemah, picik, tidak berguna tetapi merasa paling benar saja. Seperti orang-orang yang telah saya hisap habis darah mereka. Karena di dunia ini hidup mereka hanya pantas untuk digunakan saja. Tidak untuk menggunakan. Tetapi mereka harus berterima kasih kepada saya. Karena, setelah ini mereka akan bangkit kembali sebagi orang-orang yang kuat dan ditakuti di dunia ini. Tetapi kalian, para Pandawa, Pandawa lima, saya dengar kalian adalah orang-orang yang begitu perkasa. Dan entah kenapa, saya sangat percaya dengan apa yang telah saya dengar itu. Maka, saya mengajak kalian, para Pandawa, untuk bekerja sama dengan saya, membangun sebuah negara terkuat di dunia ini. Negara dengan orang-orang yang ditakuti. Dengan pemimpin terkuat seperti saya. Bagaimana? Tapi sebaiknya kalian setuju. Karena, bila tidak, kalian juga akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Menjadi budak yang menjijikan.”
  Mendengar ancaman itu, Puntadewa tak dapat berpikir dengan jernih. Rasa ketakutan yang begitu besar masih mendidih di hati dan pikirannya. Sorot mata lelaki penghisap darah itu seperti masuk ke jantungnya dan memaksa Puntadewa untuk menyetujui ancamannya. Puntadewa melihat ke adik-adiknya. Ia berharap adik-adiknya mampu membantu memberikan jawaban. Tetapi mereka, adik-adik Puntadewa seperti tak ada yang berani menatap matanya. Arjuna sedang melindungi Utari. Dan pikirannya masih saja mempertanyakan tentang cucunya, Parikesit. Sementara Nakula dan Sadewa, tidak lagi mampu bangkit dan membantu kakangnya. Tubuh mereka benar-benar terluka parah. Sedangkan Bima, terduduk jongkok dengan kepala menunduk dengan melekatkan kedua telapak tangannya menyerupai mangkuk.
“Duh, Dewata, ke manakah paman Semar? Kenapa saat-saat seperti ini ia tidak datang untuk membantu kami?” Sedu Bima. ”Ya ampun, Gusti..!” Bima tiba-tiba mendongakkan kepalanya, terkejut. ”Hamba lupa kalau selama ini paman Semar telah menghilang. Menghilang sejak jauh sebelum perang Barata terjadi. Dan sampai saat ini, hamba, ah bukan, maksud hamba, kami tidak pernah mencarinya. Kami mengacuhkannya begitu saja. Padahal, sungguh kami ini sangat butuh kehadirannya, ya Gusti. Kami butuh pertolongannya. Bila Engkau memang ber-welas asih pada hambaMu, datangkanlah ia kemari, ya Gusti, Dewata yang pemurah.” Bima memohon dengan sesenggukan menahan airmatanya yang membendung.
Puntadewa menarik nafas dalam-dalam, memantapkan dirinya, lalu menghembuskannya dengan berat sekali. Pikiranya semakin kacau. Ia menarik nafas sekali lagi. Lebih dalam. Lalu mengeluarkannya dengan cepat.
”Baiklah. Kami ikut denganmu. Kami tunduk kepadamu.” jawab Puntadewa keras dengan nada yang meliuk.
Adik-adik Puntadewa menatap kejut padanya. Lembayung yang hitam, seketika pecah oleh sambaran petir. Bersahut-sahutan melemparkan serapah dan kutuk. Dedaunan layu dan pohon-pohon menunduk. Reruntuhan hujan membanjiri duka mayapada. Lelaki Asing itu tertawa terbahak-bahak. Berjalan mengelilingi kelima ksatriya dan seorang dewi yang masih tercengang itu. Tetapi tubuhnya semakin merunduk, bungkuk dan tangan kirinya masih terpangku di atas pantatnya.


November 2008




Tidak ada komentar: