Senin, Desember 01, 2008

POEMS

Puisi-Puisi Indiar Manggara

PENARI DI ATAS KATA-KATA

(kepada dewi)

kali ini aku membisu
terbungkam jarum jam dinding
yang mengetuk setiap detik
seperti kata-kata berlarian meninggalkanku
menari di atas kata-kata.

“wahai penariku, datang dengan amatlah memesona.”

waktu yang semakin menua tersenyum 
menidurkanku dalam buai indah tariannya
keringat yang membasahi imajinasi 
menjamahi tiap lekuk tubuhnya 
dan kubasahi dengan hitam yang elok 
tertoreh dalam tariannya

bukan itu. bukan ini. entah apa?
kulukiskan saja seperti itu
pantaslah

teruslah menari di atas kata-kataku.
agar mereka pula terpaku pada detik jam dinding 
yang semakin saja menua di tempatnya

indiar.m
15 januari '05

PUSPITA

Tertatih-tatih berjalan di atas langkah peluh
Pencerahan diam mati sepi entah menanti
Kembang sari terang redup-redup terang
Harum menakik dalam tidur pencarianku

Dingin abu-abu tergaris di bawah senyuman
Membaringkan aku di fatamorgana ruang
Di sana-di sini masih saja
Aku dan pencarianku

Sajak bulan telah rapuh terlukis cermin
Menjelma selara-selara tua retak 
Tapi nafas itu masih utuh
Berhembus berdetak mempan merajut nyawa

Masih saja
Renyai harum terselip sepi
Terang redup-redup terang
Tetap menyala

indiar m
9 oktober ‘05
DIA

dia
yang bersembunyi di kulit lembah dadanya 
membawa desau ngilu pada jari-jari malam
selalu kulukis wajah buram itu 
dan kubalutkan kerudung hitam 
sehitam mantra tua di puncak kastil 
sebagai garis namanya

dia
yang bersembunyi di balik pualam tubuhya
seperti lekukan puisi kelam 
mengalir seperti sungai keringat di lehermu 
membagikan potongan-potongan mayat dalam 
sebuah kado berpita

dia
yang berada di balik tawa genitnya 
mengirimku kekosongan 
senyap 
sepi 
sunyi 
bertabur mawar merah terjilat temaram lilin 
aku membayang pada temaramnya

dia
yang selalu kulukis buram pada wajah itu 
menoreh siang 
membekas malam 
tersenyum pada cercahan cermin retak 
menari dalam mimpiku 
menyelimuti dari renyai gerimis 
malam itu dan nanti

indiar m
20-23 oktober ‘05


MENDUNG JULI

apakah kau masih tersenyum di sana? 
dalam labirin sunyi 
merajam cengkrama kita waktu itu 
sementara di sini kembang setaman 
telah menebal di dadamu 
tercacah gerimis malam 
kau jadikan selimutmu 

apa kau masih kegelapan dalam rumah tuamu? 
karena pualam-pualam telah rapuh 
pada rumput-rumput liar yang acuh padamu

apa kau telah kehabisan salam 
dari ribuan jejak tanpa nama 
biar kugantikan dengan melodi kudus 
yang kukirimkan seperti sajak putih 
yang tereja dari tiga bibir dupa melati 
bergincu bara, menari di bawah biru langit sebagai penafsir kata.

apa bulan masih tersenyum padamu? 
apa matahari masih menyapamu? 

ijinkan aku bermain ke rumah tuamu 
sekedar membuka kembali cengkerama kita 
waktu itu

indiar m

20-23oktober ‘05


INTERLUDE RIEZKA

I
di senyap bilik senja aku bertapa 
mencari gerimis di balik tirai mendung 
meruntuhkan angsana-angsana kuning 
berdansa seperti melodi kelam rambutmu

dimana kata-katamu yang kau kubur 
dalam senyummu yang tak pernah tampak
tapi jangan kirimi aku fatamorgana itu 
karena aku akan menyeberang ke sana 

dalam namamu aku lahirkan mantra-mantra tua 
kemudian aku catat dalam segelas anggur 
ku teguk menjadi darah yang ku rasakan di tubuhku 
seperti pertama kali ku cumbu bibir perawan bidadari

II
Cericit nyaring pualam tubuh itu 
seperti aku mengenalnya, 
mungkin dalam azali kita 
adalah sepasang camar yang berkasihan 
di kolam sorga 
lalu kita terpisahkan pada rahim yang terbelah 
kemudian kita anggap itu sekedar dejavu kita saja

III
aku kehilangan arah 
ketika kuseberangi labirin hitam matamu 
hingga tersandung-sandung air kaca yang membeku 
di mukamu seperti kematian yang abadi

akan ku tafsirkan garis abu-abu 
yang tertoreh di senyum itu 
seperti ku baca ayat-ayat kudus yang turun 
dari jari-jari zeus 
tapi beri aku langkah 
untuk kuturunkan gerimis dari balik tirai-tirai mendung 

indiar m
26 oktober ’05

PULANG KERJA

Sore itu, bapakku pulang kerja
Meninggalkan kerja yang dikerjai bapak
Bapak capek dikerjai kerja

Sore itu hanya kutemukan tas kerja bapak di atap rumah 

“Kok bapak nggak ada?” tanyaku pada ibu

“Bapak sudah pulang kerja tapi masih kepagian.” jawab ibu yang masih sibuk membetulkan baju kami sedikit demi sedikit

indiar m
23 november ‘05

ROMANTIKA

I
aku telah bangunkan kau
gerbang-gerbang luka
yang kita mulai dengan romantika tua
seperti persetubuhan senja
memberi jejak-jejak
pada malam, 
mungkin siang
pada setiap angka kalender kita 
yang semakin tua

kau kirimkan namamu
yang kau kalungkan di leherku
seperti celurit
kau perkosai kata-kataku
dengan mimpi
basah – air mata - darah 

II
ruhku menangis 
seperti senja yang rapuh
aku acuhkan malam yang angkuh
menari di atas kafan hitam
dalam gelap
kurangkul malaikat-malaikat maut dengan air mata
ku selimutkan bunga duka di atas sejarah

III
samadimu kini telah sudah
tapi masih kau bakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong mimpiku

kau cabut pusaka yang lalu
kau apitkan di sela pahamu
bersama waktu yang terbunuh puisi

masih terbakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong penuh luka

indiar m
26 november ‘05

SEBUAH MUSIM AKU RINDU

hadirkan aku dalam luka-lukamu
serupa horizon waktu 
yang takkan kau tampaki raut riwayatnya;
habis terkubur daun-daun rapuh
sebab tlah kau teguk bingkai sejarahku
dalam selimut musim dingin
yang kau rentangkan di pohon rindu

seperti gerimis yang lama tak kukecup
aku tadahi keringatmu sore itu
buat aku buka lagi lembaran-lembaran
peluh ngiluku dalam album kenangan tua

kau tuangkan tanda tanya
aku minum gelisahku

indiar m
29 november ‘05




HANYA LINTAS

aku temukan nafasmu
bergulat seiring aroma vodka
terbakar birahi
hingga purnama mencumbui kita 
di pesisir pulau biru

malam ngintip … 

kita saling pecahkan teka-teki
antara lembah yang kuarungi
dengan peluh ngilu
merajam pusaran langsat tertutup
bayangan kelam berhala yang kau puja
lalu kita temukan puncak di ujung cakrawala
yang seperti baru saja kita singggahi

kita bercumbu memecah malam
seperti kita saling meneriakan puisi-puisi kita
yang tak pernah mati teredam malam

ah…. malam masih saja ngintip

kita terus berjuang melawan malam
saling memaki
bukan pada malam
bukan tetangga
bukan pak RT

ah… malam masih saja ngintip

kita terus berjuang melawan malam
tapi tak kutemukan cinta dalam senggama kita
masih kucari
berjuang melawan malam

oh… ternyata
  ternyata oh…

cinta masih nyangkut
di tali kutangmu

indiar m 
1 desember ‘05

KUSAPA GADIS CILIK DI TENGAH PERANTAUAN

kusapa gadis cilik di tengah perantauan
lembah-lembah sajak 
yang tertulis dari ribuan jejak-jejak darah

“aku telah selesai” katanya
kudengar airmatanya 
belum fasih mengeja sejarah
seperti fajar mabok getah kamboja

kusapa gadis cilik di tengah perantauan
membacakan jejaknya
serupa kematian abadi
menebas mata-mataku
hingga kucampurkan darahku
bersama airmatanya

kusapa gadis cilik di tengah perantauan
lembah-lembah sajak
mati di potongan sejarah
menanti senja
masih pagi
masih…

indiar m
18 desember ‘05

HUJAN MALAM ITU BELUM USAI SAYANG

hujan malam itu belum usai sayang
tapi tlah kau saksikan kematianku
mengambang di balok-balok etalase pualammu
menjelma retakan embun 
yang membasuh sungai airmata rinduku
hanya gerimis kata-kataku
yang kurajut serupa kerudung merahmudamu

aku selimutkan namamu
di atas rebahan mimpiku yang rapuh
kusut terhujam cadas senyummu
membatu di bawah gairah langit azalea

aku masih di sini sayang
menantimu menukar rindu denganku
atau sekedar memecah namaku
menjadi puing doa 
yang kau sembahkan pada peri-peri tidurmu

hujan malam itu belum usai sayang
kemarau hanya mengunyahmu saja
mungkin bulan mulai ranum kehausan

tapi malam ini,
semoga hujan tak kan pernah usai

indiar m
desember ‘05



TELANJANG

Sehabis menambang, tiba-tiba ia ingin pulang dan segera telanjang.
Sebab mulai bosan dengan pakaian yang tiap hari mesti minta dicuci
Bahkan di ranjang, kadang ia suka bimbang
Mematut-matut pakaiannya; mana yang laras dan setimbang 
untuk dipakainya telentang

Ia makin enggan dengan pakaian yang dipakainya
Sebab memakai pakaian selalu dituntut beragam corak, bentuk ,ukuran dan warna

Sesampai di rumah, ia langsung ngacir menuju toilet kesayangannya
Segera gerah ia melucuti pakaiannya
Mulai dari kemeja hingga celana

Tapi sayang pakaiannya tak mau lepas
Meski bersikeras tetap tak lepas
Ia makin beringas hingga tenaganya rantas, tetap saja bajunya tak lepas
Kemejanya mengeras, celananya meremas
Melilit ia tak bisa bernafas

Ia menyerah, gagal untuk menuju yang tak ada
Akhirnya tetap saja memakai kemeja dan celana
 yang ragam corak, bentuk, ukuran dan warnanya

“Toh, telanjang juga aku nantinya”

indiar.m
oktober 2007


GALUH 1
-dukuh salam-slawi-tegal- 

antara kau dan aku
adalah irama
tari dan kata
di atas panggung pasir yang terhujam gerimis
cakcak rancak gemulai laras kita di tebaran pari

dentum batu adalah waktu
gaung bambu adalah rindu

bayang mantra –

aku rengkuh sintal tubuhmu
dengan dendang dan kata
kau seret padi yang kubaca
dengan langkah dewi

kau – aku
adalah irama
tari dan kata
di sebuah etalase pemujaan yoni lingga

indiar.m
18 des 2007
  23.00


GALUH 2
-dukuh salam-slawi-tegal- 
- suatu malam -

Tukang kata keliling di pasir pesisir
Bertemu muka dengan penyulam tari
Mereka saling sapa, saling taksir
Tukang kata berharap dalam hati

Penyulam ingin tahilalat di dadanya ditambal dengan kata
Tukang kata ingin harapannya disulam dengan tari

- suatu pagi -

Tukang kata kecewa, 
sulamannya semalam lepas tak beraturan
Dicarinya si penyulam tari
Si penyulam telah kembali meninggalkannya sendiri
tukang kata berharap dalam hati
agar kata-nya tidak lepas di dada nya
semalam

indiar.m
19 des 2007
  08.00




KUTEMUKAN

mereka menyematkan mata di ujung pangkal
aku tetap mencari yang mereka bilang khayal
mereka menajamkan bidik
aku masih menyelidik
di sela-sela, di sekujur tubuh, di tetumpukan sejarah
engkau gelisah
mereka berbisik, mendekat membujuk raut gentar
dan aku menelisik dan aku membongkar
di puing-puing rahasia, di singkap kelambu, di pusar dadamu
mereka manyun, aku tersenyum, engkau tersipu
di pusar dadamu, di ronah merah pipimu
aku menemukan namaku


indiar.m
24 juli ‘08


DONGENG SEPOTONG JILBAB


Seorang gadis manis tiba-tiba melepas jilbab.
Mulai berpadu hangat dengan kekasihnya sekedar melepas penat.

“Bolehkah kuminum ranummu yang memerah jambu?
Apa itu: yang lebat seperti rambutmu?”
Kata kekasih yang terburu-buru tanpa ingat tempat dan waktu
sembari tanpa sebab mengunyah pantat senikmat roti kebab.

Gadis manis tiba-tiba menangis megap-megap.
Sesengggukan ia mengais sepotong jilbab.
Gadis manis menangis makin meratap,
Menemukan celananya yang mulai lembab.

Indiar.m
11 april’06


WEDANG

diam-diam di ceruk kuyuh matamu
tergurat sungai airmata
yang lalu kau jerang di kantukmu
yang bunting di perut asa
yang lalu kau seduh
di rautmu
di ranummu
di sepimu

“wedangmu keburu dingin, nduk. biar kuminum saja ketimbang basi.”
Kataku dalam mimpi

Diam-diam di ceruk kuyuh matamu
airmatamu mengering dan kabut mulai beku
kantukmu tiba-tiba terjaga
rautmu nanar, dan kau berkata:
“wedang ini bukan untukmu!”

Indiar.m
14 mei’06


TERUNTUK PEREMPUAN YANG TELAH MENJADIKANKU SATE AYAM
(uhtia)


mungkin kau tak akan pernah tahu
ketika kubisikan rayu pada kupu-kupu yang sandar di telingamu
dan ulat-ulat bulu yang membuat gatal bibirku—ingin mengecupmu
ada lindu dari rindu para pemburu
yang lalu,
menjelma desir batu-batu hantu dalam ruang tak berlampu

di lingkar matamu, aku adalah kapal yang melabuh sauh

duh, nduk ayu
setumpuk tahu ini telah kujahit menjadi sepasang sepatu baru untukmu
sewaktu kudengar namamu seperti renyai hujan yang kubaca dari gerai bibirmu
seperti ibu waktu; deru belantara daun-daun salju

duh, nduk ayu
ada yang tak tereja dengan sempurna ketika kau panggil namaku
tapi mungkin kau tak kan pernah tahu

indiar.m
20 okt’08


Tidak ada komentar: