Puisi-Puisi Indiar Manggara
PENARI DI ATAS KATA-KATA
kali ini aku membisu
terbungkam jarum jam dinding
yang mengetuk setiap detik
seperti kata-kata berlarian meninggalkanku
menari di atas kata-kata.
“wahai penariku, datang dengan amatlah memesona.”
waktu yang semakin menua tersenyum
menidurkanku dalam buai indah tariannya
keringat yang membasahi imajinasi
menjamahi tiap lekuk tubuhnya
dan kubasahi dengan hitam yang elok
tertoreh dalam tariannya
bukan itu. bukan ini. entah apa?
kulukiskan saja seperti itu
pantaslah
teruslah menari di atas kata-kataku.
agar mereka pula terpaku pada detik jam dinding
yang semakin saja menua di tempatnya
indiar.m
15 januari '05
PUSPITA
Tertatih-tatih berjalan di atas langkah peluh
Pencerahan diam mati sepi entah menanti
Kembang sari terang redup-redup terang
Harum menakik dalam tidur pencarianku
Dingin abu-abu tergaris di bawah senyuman
Membaringkan aku di fatamorgana ruang
Di sana-di sini masih saja
Aku dan pencarianku
Sajak bulan telah rapuh terlukis cermin
Menjelma selara-selara tua retak
Tapi nafas itu masih utuh
Berhembus berdetak mempan merajut nyawa
Masih saja
Renyai harum terselip sepi
Terang redup-redup terang
Tetap menyala
indiar m
9 oktober ‘05
dia
yang bersembunyi di kulit lembah dadanya
membawa desau ngilu pada jari-jari malam
selalu kulukis wajah buram itu
dan kubalutkan kerudung hitam
sehitam mantra tua di puncak kastil
sebagai garis namanya
dia
yang bersembunyi di balik pualam tubuhya
seperti lekukan puisi kelam
mengalir seperti sungai keringat di lehermu
membagikan potongan-potongan mayat dalam
sebuah kado berpita
dia
yang berada di balik tawa genitnya
mengirimku kekosongan
senyap
sepi
sunyi
bertabur mawar merah terjilat temaram lilin
aku membayang pada temaramnya
dia
yang selalu kulukis buram pada wajah itu
menoreh siang
membekas malam
tersenyum pada cercahan cermin retak
menari dalam mimpiku
menyelimuti dari renyai gerimis
malam itu dan nanti
indiar m
apakah kau masih tersenyum di sana?
dalam labirin sunyi
merajam cengkrama kita waktu itu
sementara di sini kembang setaman
telah menebal di dadamu
tercacah gerimis malam
kau jadikan selimutmu
apa kau masih kegelapan dalam rumah tuamu?
karena pualam-pualam telah rapuh
pada rumput-rumput liar yang acuh padamu
apa kau telah kehabisan salam
dari ribuan jejak tanpa nama
biar kugantikan dengan melodi kudus
yang kukirimkan seperti sajak putih
yang tereja dari tiga bibir dupa melati
bergincu bara, menari di bawah biru langit sebagai penafsir kata.
apa bulan masih tersenyum padamu?
apa matahari masih menyapamu?
ijinkan aku bermain ke rumah tuamu
sekedar membuka kembali cengkerama kita
waktu itu
indiar m
20-23oktober ‘05
I
di senyap bilik senja aku bertapa
mencari gerimis di balik tirai mendung
meruntuhkan angsana-angsana kuning
berdansa seperti melodi kelam rambutmu
dimana kata-katamu yang kau kubur
dalam senyummu yang tak pernah tampak
tapi jangan kirimi aku fatamorgana itu
karena aku akan menyeberang ke sana
dalam namamu aku lahirkan mantra-mantra tua
kemudian aku catat dalam segelas anggur
ku teguk menjadi darah yang ku rasakan di tubuhku
seperti pertama kali ku cumbu bibir perawan bidadari
II
Cericit nyaring pualam tubuh itu
seperti aku mengenalnya,
mungkin dalam azali kita
adalah sepasang camar yang berkasihan
di kolam sorga
lalu kita terpisahkan pada rahim yang terbelah
kemudian kita anggap itu sekedar dejavu kita saja
III
aku kehilangan arah
ketika kuseberangi labirin hitam matamu
hingga tersandung-sandung air kaca yang membeku
di mukamu seperti kematian yang abadi
akan ku tafsirkan garis abu-abu
yang tertoreh di senyum itu
seperti ku baca ayat-ayat kudus yang turun
dari jari-jari zeus
tapi beri aku langkah
untuk kuturunkan gerimis dari balik tirai-tirai mendung
indiar m
26 oktober ’05
PULANG KERJA
Meninggalkan kerja yang dikerjai bapak
Bapak capek dikerjai kerja
Sore itu hanya kutemukan tas kerja bapak di atap rumah
“Kok bapak nggak ada?” tanyaku pada ibu
“Bapak sudah pulang kerja tapi masih kepagian.” jawab ibu yang masih sibuk membetulkan baju kami sedikit demi sedikit
indiar m
23 november ‘05
ROMANTIKA
aku telah bangunkan kau
gerbang-gerbang luka
yang kita mulai dengan romantika tua
seperti persetubuhan senja
memberi jejak-jejak
pada malam,
mungkin siang
pada setiap angka kalender kita
yang semakin tua
kau kirimkan namamu
yang kau kalungkan di leherku
seperti celurit
kau perkosai kata-kataku
dengan mimpi
basah – air mata - darah
II
ruhku menangis
seperti senja yang rapuh
aku acuhkan malam yang angkuh
menari di atas kafan hitam
dalam gelap
kurangkul malaikat-malaikat maut dengan air mata
ku selimutkan bunga duka di atas sejarah
III
samadimu kini telah sudah
tapi masih kau bakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong mimpiku
kau cabut pusaka yang lalu
kau apitkan di sela pahamu
bersama waktu yang terbunuh puisi
masih terbakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong penuh luka
indiar m
26 november ‘05
SEBUAH MUSIM AKU RINDU
serupa horizon waktu
yang takkan kau tampaki raut riwayatnya;
habis terkubur daun-daun rapuh
sebab tlah kau teguk bingkai sejarahku
dalam selimut musim dingin
yang kau rentangkan di pohon rindu
seperti gerimis yang lama tak kukecup
aku tadahi keringatmu sore itu
buat aku buka lagi lembaran-lembaran
peluh ngiluku dalam album kenangan tua
kau tuangkan tanda tanya
aku minum gelisahku
indiar m
29 november ‘05
HANYA LINTAS
aku temukan nafasmu
bergulat seiring aroma vodka
terbakar birahi
hingga purnama mencumbui kita
di pesisir pulau biru
malam ngintip …
kita saling pecahkan teka-teki
antara lembah yang kuarungi
dengan peluh ngilu
merajam pusaran langsat tertutup
bayangan kelam berhala yang kau puja
lalu kita temukan puncak di ujung cakrawala
yang seperti baru saja kita singggahi
kita bercumbu memecah malam
seperti kita saling meneriakan puisi-puisi kita
yang tak pernah mati teredam malam
ah…. malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
saling memaki
bukan pada malam
bukan tetangga
bukan pak RT
ah… malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
tapi tak kutemukan cinta dalam senggama kita
masih kucari
berjuang melawan malam
oh… ternyata
ternyata oh…
cinta masih nyangkut
di tali kutangmu
indiar m
1 desember ‘05
KUSAPA GADIS CILIK DI TENGAH PERANTAUAN
lembah-lembah sajak
yang tertulis dari ribuan jejak-jejak darah
“aku telah selesai” katanya
kudengar airmatanya
belum fasih mengeja sejarah
seperti fajar mabok getah kamboja
kusapa gadis cilik di tengah perantauan
membacakan jejaknya
serupa kematian abadi
menebas mata-mataku
hingga kucampurkan darahku
bersama airmatanya
kusapa gadis cilik di tengah perantauan
lembah-lembah sajak
mati di potongan sejarah
menanti senja
masih pagi
masih…
indiar m
18 desember ‘05
HUJAN MALAM ITU BELUM USAI SAYANG
tapi tlah kau saksikan kematianku
mengambang di balok-balok etalase pualammu
menjelma retakan embun
yang membasuh sungai airmata rinduku
hanya gerimis kata-kataku
yang kurajut serupa kerudung merahmudamu
aku selimutkan namamu
di atas rebahan mimpiku yang rapuh
kusut terhujam cadas senyummu
membatu di bawah gairah langit azalea
aku masih di sini sayang
menantimu menukar rindu denganku
atau sekedar memecah namaku
menjadi puing doa
yang kau sembahkan pada peri-peri tidurmu
hujan malam itu belum usai sayang
kemarau hanya mengunyahmu saja
mungkin bulan mulai ranum kehausan
tapi malam ini,
semoga hujan tak kan pernah usai
indiar m
desember ‘05
TELANJANG
Sehabis menambang, tiba-tiba ia ingin pulang dan segera telanjang.
Sebab mulai bosan dengan pakaian yang tiap hari mesti minta dicuci
Bahkan di ranjang, kadang ia suka bimbang
Mematut-matut pakaiannya; mana yang laras dan setimbang
untuk dipakainya telentang
Ia makin enggan dengan pakaian yang dipakainya
Sebab memakai pakaian selalu dituntut beragam corak, bentuk ,ukuran dan warna
Sesampai di rumah, ia langsung ngacir menuju toilet kesayangannya
Segera gerah ia melucuti pakaiannya
Mulai dari kemeja hingga celana
Tapi sayang pakaiannya tak mau lepas
Meski bersikeras tetap tak lepas
Ia makin beringas hingga tenaganya rantas, tetap saja bajunya tak lepas
Kemejanya mengeras, celananya meremas
Melilit ia tak bisa bernafas
Ia menyerah, gagal untuk menuju yang tak ada
Akhirnya tetap saja memakai kemeja dan celana
yang ragam corak, bentuk, ukuran dan warnanya
“Toh, telanjang juga aku nantinya”
indiar.m
oktober 2007
GALUH 1
-dukuh salam-slawi-tegal-
antara kau dan aku
adalah irama
tari dan kata
di atas panggung pasir yang terhujam gerimis
cakcak rancak gemulai laras kita di tebaran pari
dentum batu adalah waktu
gaung bambu adalah rindu
bayang mantra –
aku rengkuh sintal tubuhmu
dengan dendang dan kata
kau seret padi yang kubaca
dengan langkah dewi
kau – aku
adalah irama
tari dan kata
di sebuah etalase pemujaan yoni lingga
indiar.m
18 des 2007
23.00
GALUH 2
-dukuh salam-slawi-tegal-
- suatu malam -
Tukang kata keliling di pasir pesisir
Bertemu muka dengan penyulam tari
Mereka saling sapa, saling taksir
Tukang kata berharap dalam hati
Penyulam ingin tahilalat di dadanya ditambal dengan kata
Tukang kata ingin harapannya disulam dengan tari
- suatu pagi -
Tukang kata kecewa,
sulamannya semalam lepas tak beraturan
Dicarinya si penyulam tari
Si penyulam telah kembali meninggalkannya sendiri
tukang kata berharap dalam hati
agar kata-nya tidak lepas di dada nya
semalam
indiar.m
19 des 2007
08.00
KUTEMUKAN
mereka menyematkan mata di ujung pangkal
aku tetap mencari yang mereka bilang khayal
mereka menajamkan bidik
aku masih menyelidik
di sela-sela, di sekujur tubuh, di tetumpukan sejarah
engkau gelisah
mereka berbisik, mendekat membujuk raut gentar
dan aku menelisik dan aku membongkar
di puing-puing rahasia, di singkap kelambu, di pusar dadamu
mereka manyun, aku tersenyum, engkau tersipu
di pusar dadamu, di ronah merah pipimu
aku menemukan namaku
indiar.m
24 juli ‘08
DONGENG SEPOTONG JILBAB
Seorang gadis manis tiba-tiba melepas jilbab.
Mulai berpadu hangat dengan kekasihnya sekedar melepas penat.
“Bolehkah kuminum ranummu yang memerah jambu?
Apa itu: yang lebat seperti rambutmu?”
Kata kekasih yang terburu-buru tanpa ingat tempat dan waktu
sembari tanpa sebab mengunyah pantat senikmat roti kebab.
Gadis manis tiba-tiba menangis megap-megap.
Sesengggukan ia mengais sepotong jilbab.
Gadis manis menangis makin meratap,
Menemukan celananya yang mulai lembab.
Indiar.m
11 april’06
WEDANG
diam-diam di ceruk kuyuh matamu
tergurat sungai airmata
yang lalu kau jerang di kantukmu
yang bunting di perut asa
yang lalu kau seduh
di rautmu
di ranummu
di sepimu
“wedangmu keburu dingin, nduk. biar kuminum saja ketimbang basi.”
Kataku dalam mimpi
Diam-diam di ceruk kuyuh matamu
airmatamu mengering dan kabut mulai beku
kantukmu tiba-tiba terjaga
rautmu nanar, dan kau berkata:
“wedang ini bukan untukmu!”
Indiar.m
14 mei’06
TERUNTUK PEREMPUAN YANG TELAH MENJADIKANKU SATE AYAM
(uhtia)
mungkin kau tak akan pernah tahu
ketika kubisikan rayu pada kupu-kupu yang sandar di telingamu
dan ulat-ulat bulu yang membuat gatal bibirku—ingin mengecupmu
ada lindu dari rindu para pemburu
yang lalu,
menjelma desir batu-batu hantu dalam ruang tak berlampu
di lingkar matamu, aku adalah kapal yang melabuh sauh
duh, nduk ayu
setumpuk tahu ini telah kujahit menjadi sepasang sepatu baru untukmu
sewaktu kudengar namamu seperti renyai hujan yang kubaca dari gerai bibirmu
seperti ibu waktu; deru belantara daun-daun salju
duh, nduk ayu
ada yang tak tereja dengan sempurna ketika kau panggil namaku
tapi mungkin kau tak kan pernah tahu
indiar.m
20 okt’08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar